Rabu, 13 Januari 2010

Simposium dan Audiensi dengan DPD MPR-RI

Pemerintahan yang bersih dan kesejahteraan masyarakat (Good Government dan Human Development) adalah harapan dan cita-cita kita semua, pencapaian cita-cita ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik dan hokum yang dilaksanakan oleh pemerintah itu sendiri. Untuk mewujudkan pemerintah yang memiliki kebijakan pro kesejahteraan bersama dan menjunjung tinggi nilai-nilai serta prinsip-prinsip demokrasi, maka harus berlaku padanya hukum kausalitas. Hukum kausalitas untuk melahirkan pemerintah yang pro kepada kesejahteraan bersama itu, ialah mengimplementasikan tujuan otonomi daerah dan proses pembentukan dan pemilihan kepala daerah secara demokratis.

Perubahan system politik Indonesia dari sentralisasi ke desentralisasi atau lebih dikenal dengan otonomi daerah, salah satu tujuannya adalah meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak rakyat. Karena diasumsikan Pemda lebih dekat dengan masyarakat dan lebih mengerti dan memahami akan kebutuhan masyarakat daerah dari pada pemerintahan pusat. Dalam prakteknya, konsep otonomi daerah itu ada empat model, yaitu; Pertama, model deconcentration, yakni distribusi wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan. Kedua, model delegition to semi autonomous or parastatal organization, yakni pendelegasian otoritas managemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah. Ketiga, model devolution, yakni penyerahan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah otonom dan Keempat, model privatisation, yakni penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggungjawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta (Syarif Hidayat, 2006:15-16).

Berdasarkan kepada tujuan otonomi daerah di atas dan dikaitkan dengan kontek objektif daerah Sumbar pasca bencana gempa, dimana masyarakatnya masih dalam keadaan trouma dan terpuruk secara psikologis, sosialis, dan ekonomis, maka sangat membutuhkan pemimpin politik – dalam proses pilkada nanti- yang dapat mempercepat laju pemerintahan dalam membangkitkan masyarakat daerah dari keterpurukan dan ketertinggalan menuju masyarakat yang sejahtera.

Hasil dari pilkada langsung mestinya akan menghasilkan kepala daerah yang mampu dalam mengelola organisasi Pemerintah Daerah, segenap sumberdaya manusia (PNS) dan aset-aset daerah untuk mensejahterakan rakyat (human development). Hal ini disebabkan pilkada langsung adalah arena syah secara politik dan hukum untuk memilih aktor politik terbaik di daerah dengan sejumlah kriteria menurut selera dan aspirasi rakyat tanpa ada intervensi politik apapun dan dari manapun. Berbeda dengan pilkada versi perwakilan rakyat (DPRD), dimana aneka intervensi, intrik, klik dan konsesi politik lebih mendominasi.
Akan tetapi, kita menyadari bahwa kebanyakan masyarakat Sumbar belum memiliki penegetahuan dan kecerdasan politik yang memadai dalam menentukan dan menetapkan pilihan secara rasional dan objektif. Sehingga dengan kondisi seperti ini memiliki efek penghalang yang besar dalam menentukan kepala daerah yang tepat. Oleh karena itu, sangat dianggap penting untuk menetapkan dan mendemonstrasikan kriteria-kriteria pemimpin daerah yang ramah akan kebijakan lokal oleh badan penyelenggara Pilkada (KPU) kepada masyarakat. Penetapan kriteria-kriteria ini adalah bagian dari pendidikan dan pencerahan politik. Tanpa usaha ini, akan dikawatirkan masyarakat Sumbar akan kecolongan secara politis dalam hal tempat mengamanahkan hak-hak mereka.

Momen Pilkada, dalam kondisi mental dan ekonomi yang masih terseok-seok, masyarakat Sumbar sangat rentan sekali untuk ditunggangi atau dimanfaatkan secara politis oleh kelompok-kelompok yang berkempenting. Hal ini sangat mungkin akan terjadi, sebab masyarakat akan cenderung pragmatis dan masyarakat terlupa akan hak-hak dan kesejahteraannya dalam jangka panjang karena diperdaya untuk ”menjual suara” sehingga memperoleh keuntungan-keuntungan material/finansial yang bersifat sementara. Dengan demikian, praktek money politik kembali memegang kendali dan berjaya.

Berdasarkan kepada wacana di atas, maka timbul keyakinan akan sangat pentingnya sebuah kesadaran dan kesepahaman akan kondisi objektif yang sedang melanda masyarakat Sumbar. Oleh karena itu, melalui pilkada sangat diharapkan dapat melahirkan pemimpin terpilih yang memiliki karakteristik yang mampu mengakselerasikan cita-cita otonomi daerah, yaitu kesejahteraan masyarakat (human development). Tentu, untuk mewujudkan pemimpin yang dicita-citakan seperti demikian, tidak bisa terlepas dari calon pemilih yang telah tercerahkan secara politis, sehingga bisa melakukan penilaian, pemilihan dan penetapan secara kritis, rasional dan objektif.

SCEDEI menyelenggarakan Simposium dengan tema ”Mencita-citakan Good Government dan Human Development Melalui Pilkada Yang Demokratis”, sebagai refleksi terhadap perkembangan sosial-politik masyarakat hari ini. Simposium yang diselenggarakan pada tanggal 23 Desember 2009 di Sekretariat KPMM.

Simposium ini merupakan tindak lanjut dari diskusi tanggal 4 Desember 2009 yakni audiensi dengan anggota legislatif. Kebetulan anggota DPD MPR-RI perwakilan Sumatera Barat sedang melakukan reses sehingga dalam simposium ini dapat menghadirkan Alirmansori, SH. M.Hum. MM sebagai pembicara.

Sejak jauh hari, Sumatera Barat telah menjadi perhatian dunia, bukan karena Sumatera Barat adalah daerah produksi senjata nuklir atau pusat ladang minyak, tetapi karena Sumatera Barat daerah ”lumbung” bencana. Bertepatan pada tanggal 30 september 2009, gempa bumi yang berkekuatan 7,6 SR telah meluluh-lantahkan Sumbar. Akibat gempa tersebut, ekonomi Sumbar menjadi semakin terpuruk yang sebelum juga sudah ”carut-marut”, pengangguran bertambah, budaya lokal terancam, pendeknya gempa mengakibatkan kerugian fisik dan mental yang besar pada masyarakat Sumbar. Dengan kondisi yang masih lemah dan trauma pada bencana gempa tersebut, pada tanggal 16 juni 2009 masyarakat sumbar dihadapkan pada pilkada serentak di tiga belas kab/kota dan satu provinsi. Ada dua wacana yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh sumbar, yaitu pilkada harus ditunda mengingat kondisi masyarakat yang belum siap untuk mengikuti pilkada. Pendapat lain menyatakan, pilkada tidak perlu ditunda. Pendapat yang terakhir ini diamini oleh badan pengelola dan penyelenggara pemilu (Departemen Dalam Negeri dan KPU).

Bencana dan pilkada adalah dua hal yang jauh berbeda tetapi memiliki kaitan yang sangat erat. Bencana telah mengahancurkan masyarakat Sumbar. Oleh karena itu, masyarakat sumbar harus bangkit dari kehancuran tersebut. Harapan untuk bangkit dari kehancuran dan keterpurukan tersebut harus didukung oleh pemerintahan yang baik dan memiliki orientasi kesejahteraan rakyat. oleh karena itu, masyarakat Sumbar harus dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kemampuan dan integritas yang tinggi. Tentu saja untuk mendapatkan pemimpin yang dicita-citakan tersebut tidak terlepas dari proses pilkada yang akan dilakukan.

Untuk menjawab karakteristik pemimpin seperti apa yang cocok memimpin Sumbar kedepan, Scedei mengangkatkan Simposium yang bertemakan ”Mencita-citakan Good Government dan Human Development Melalui Pilkada Yang Demokratis di Sumbar” tanggal 23 Desember 2009, dengan pembicaranya Alirman Sori, (Anggota DPD MPR-RI) yang dihadiri oleh beberapa kalangan dari perwakilan LSM, Ormas, dan Mahasiswa. Dari simposium tersebut, banyak bermunculan ide-ide cerdas dan rekomendsi-rekomendsi yang membangun.

Persoalan yang terpenting disorot oleh Alirman Sori di antaranya ialah faktor-faktor kegagalan dalam pilkada. Dalam kontek ini, yang dilihat oleh Alirman adalah praktek atau perilaku politik dari calon peserta pemilu. Ia mengatakan, ada dua faktor yang menjadikan proses pilkada menjadi ternoda, yaitu penampilan atau performant dan politik uang. Dua hal ini, kata Alirman, telah menjadi komoditi handal atau senjata ampuh yang digunakan oleh calon peserta pilkada untuk memenangkan peraihan suara dalam pilkada. Padahal, dua bentuk praktek politik tersebut, selain mencederai demokrasi juga bersifat destruktif. Penampilan fisik bukanlah jaminan untuk bisa menjadi pemimpin yang layak untuk Sumbar, sedangkan politik uang sudah barang tentu menjadikan kedudukan politik sebagai kepentingkan pribadi atau kelompok.

Di samping itu, Alirman Sori menawarkan kriteria-kriteria pemimpin, khususnya yang layak untuk memimpin Sumbar kedepan. Kriteria-kriteria tersebut ialah bahwa pemimpin tersebut harus memiliki dedikasi, kredibilitas, kecakapan dan kemampuan dasar, dapat membaca potensi daerah, dapat membaca karakteristik masyarakatnya, memiliki komunikasi vertikal yang kuat, memiliki kemampuan atau nilai-nilai spritual yang kuat, memiliki komitmen yang jelas dan tinggi, menghindari benturan kepentingan, terbuka untuk dikritik.

Kriteria-kriteria yang dikemukakan di atas, bagi Alirman Sori merupakan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh calon yang akan ikut bertarung dalam pilkada Sumbar nanti. Hanya dengan memenuhi kriteria tersebut Sumbar dapat dibangkitkan dari keterpurukan multi-dimensi. Mengangkat Sumbar yang sedang terluka, sangat diperlukan penggeliatan dri segala dimensi yang distimulus oleh terobosan-terobosan yang strategis. Di sini, integral lintas sektoral dan komunikasi inter profesional harus dibangun bersama-sama, sehingga terwujud saling isi dan saling sinergi.

Alirman Sori juga mennyigi kapasitas calon pemilih yang akan terlibat dalam pilkada Sumbar. Ia mengatakan bahwa masyarakat Sumbar belum memiliki kemampuan dan pengetahuan politik yang objektif, rasional dan kritis. Agar masyarakat Sumbar jangan sampai kecolongan dalam menentukan pilihan dan terpilihnya pemimpin yang tidak memiliki orientasi kesejahteraan masyarakat, maka perlu dilakukan gerakan pendidikan dan pencerahan politik kepada masyarakat ”akar rumput” untuk meningkatkan kapasitas individu tentang politik dan pilkada. Ia menambahkan, kondisi masyarakat sumbar yang masih lemah, baik mental maupun ekonomi, cenderung bersifat pragmatis. Kondisi ini dalam pilkada nanti sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dalam bentuk, sebut saja pembelian suara atau politik uang.

Pilkada serentak di Sumbar pertengahan juni 2009 nanti, sebut Alirman Sori, sangat potensi ”bergelimang” masalah. Menilik kepada pengalaman pilkada 2005, pilleg dan pilpres 2009 di Sumbar yang lalu, tahapan-tahapan pilkada banyak yang bermasalah, terutama sekali masalah DPT. Dari identifikasi masalah DPT, ditemukan data yang ganda, calon pemilih yang tidak terdata, data calon pemilih yang telah meninggal tapi masih dikeluarkan dan lain sebagainya. Masalah klasik ini sampai hari ini belum terlihat tindaklanjut dan kemajuan signifikan yang dilakukan oleh KPU Sumbar.

Di dalam proses pilkada, peran dan partisipasi aktif masyarakat sangat dibutuhkan. Partisipasi aktif masyarakat merupakan salah satu pilar demokrasi dan juga merupakan salah satu langkah terwujudnya pilkada yang bersih dan demokratis. Baik langsung maupun tidak, masyarakat dapat melakukan pengawalan dan pengawasan atas proses pilkada. Alirman Sori memprediksi pilkada di Sumbar pertengahan tahun nanti akan kurang mendapatkan partisipasi masyarakat. Ia beralasan, dengan kondisi hukum dan politik yang kurang stabil di Indonesia serta kasus-kasus hukum dan peradilan yang mencederai rasa keadilan rakyat akan berdampak kepada kurangnya partisipasi masyarakat atas pilkada. Kasus-kasus politik dan hukum itu juga merambah ke daerah-daerah, tidak terkecuali Sumbar, sebut saja kasus uang lauk pauk yang menimbulkan kekesalan pada masyarakat bawah.

Kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang suka ”memperkosa” hak masyarakat bawah, semakin menambah rasa ketidakpercayaan mereka terhadap seluruh institusi pemerintahan. Ini terbukti, ketika kita melihat persentase pemilih sejak pilpres tahun 2004 hingga pilpres 2009 cenderung menurun dan golput meningkat. Ini adalah bukti yang dapat diasumsikan bahwa masyakat semakin tidak percaya kepada pemerintah. Masyarakat bawah merasa keterlibatan mereka dalam pilkada hanya menguntungkan individu atau kelompok tertentu. Sebab, setelah beberapa bulan berakhirnya pilkada, masyarakat tidak merasakan perobahan yang signifikan pada dirinya yang dilakukan oleh pemerintahan.

Semenjak diberlakukannya sistem desentralisasi atau otonomi daerah, dimana sistem ini bertujuan untuk dapat lebih mempercepat meningkatkan kualitas, kapasitas dan kesejahteraan hidup masyarakat. Namun hingga dewasa ini, sistem otonomi daerah belum menunjukkan dan memberikan perubahan yang signifikan dirasakan langsung oleh masyarakat.

Sebagai anggota Dewan perwakilan masyarakat Sumbar, Alirman Sori menyadari kelemahan-kelemahan, baik masyarakat bawah maupun pemerintah. Untuk itu, harus ada upaya dan terobosan strategis yang harus dilakukan untuk melecut percepatan kebangkitan Sumbar. Terkait dengan pilkada, bukan saja pemerintah tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat terdidik harus mengambil peran dan terlibat aktif dalam melakukan penguatan kapasitas, kualitas, pencerahan dan pendidikan politik pada masyarakat bawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar