Rabu, 13 Januari 2010

Diskusi Bulanan SCEDEI (4 Des' 09)

Secara potensial, Sumatera Barat merupakan daerah yang paling rawan dengan bencana alam, sebut saja gempa bumi, stunami, letusan gunung berapi, banjir, kekeringan, angin topan, gelombang pasang, abrasi, dan longsor. Sederet potensi bencana alam itu, satu per-satu telah mulai mengancam, merugikan dan menghancurkan alam dan masyarakat Sumbar.

Gempabumi yang terjadi pada tanggal 30 September 2009 dengan berkekuatan 7,9 SR adalah salah satu potensi bencana yang telah meluluh-lantahkan Sumatera Barat dan sekitarnya. Hingga diperkirakan, seluruh kerugian yang di alami tercatat sebanyak 20,86 triliun. Atas dasar rasa simpati, empati dan nilai-nilai kemanusiaan, dari berbagai kalangan, kelompok dan wilayah telah ikut berpartisipasi memberikan bantuan berupa makanan, pakaian, obat-obatan dan lain sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tiga bulan hingga kini pasca gempa, dampak gempa di Sumaatera Barat masih meninggalkan segudang masalah yang sangat mendesak untuk diselesaikan. Mulai dari rehabilitasi dan rekonstruksi fisik fasilitas umum dan masyarakat sipil hingga rehabilitasi dan rekonstruksi mental masyarakat yang sempat down akibat gempa. Untuk mengatasi semua itu, sangat dibutuhkan perhatian yang serius dan membangun.

Limbak dari pada itu, Sumatera Barat yang masih bersimbah kesedihan, akan menghadapi agenda wajib demokrasi yang sudah diambang pintu. Sebanyak 13 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat plus satu Provinsi akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2010. Oleh karena itu, Apakah pilkada di daerah yang sedang terluka ini bisa menjadi momentum untuk bangkit dari keterpurukan dan muti-kekrisisan?

Menjadikan pilkada sebagai momentum untuk kebangkitan Sumatera Barat sangatlah tepat dan beralasan. Namun begitu, apakah masyarakat Sumatera Barat sudah siap atau belum untuk menghadapai pesta ini. Karena, pesta demokrasi yang demokratis sangat membutuhkan partisipasi masyarakat sipil dalam prosesi pemilu. Sementara itu, masyarakat Sumbar baik yang tergabung dalam ormas-ormas maupun tidak tengah disibukkan dengan penyelesaian masalah kemasyarakatan akibat gempa. Kemudian, disebagian daerah Sumbar yang terkena gempa dengan tingkat kerusakan yang cukup parah, seperti Padang, Padang Pariaman dan Agam, masyarakatnya masih diselimuti oleh rasa sedih dan krisis ekonomi. Disamping itu, agenda pendidikan politik juga penting dilakukan untuk masyarakat Sumbar pada umumnya.

Sangat besar harapan masyarakat Sumbar untuk dapat kembali bangkit bersamaan dengan pilkada yang demokratis. Tetapi, harapan itu akan berpotensi sirna akibat praktek politik yang tidak demokratis. Ketidakdemokratisan proses pilkada mungkin saja disebabkan oleh balon-balon yang akan maju ke pentas pertarungan pemilihan, terutama balon incumbent. Di sini yang mejadi perhatian adalah etika politik dari balon-balon yang ikut bertarung tersebut. Sebab, dalam suasana sebagian masyarakat yang masih diliputi oleh rasa kesedihan yang medalam, para kandidat mengkapanyekan dirinya dengan mengusung beberapa visi dan misi yang membosankan telingga masyarakat mendengarkannya. Selain itu, juga sangat berpotensi akan terjadinya praktek money politik, karena dengan kondisi masyarakat yang sangat lemah dan goyah, baik secara pengetahuan maupun ekonomi, cukup rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan politik. Bandit-bandit politik pasti bermain.

Untuk mewujudkan pilkada yang demokratis, juga tidak bisa terlepas dari kesiapan KPU sebagai panitia penyelenggara pemilahan umum dan pengawasan pemilihan umum. Khusus untuk Summatera Barat, perhatian dan energi seluruh masyarakat telah terkuras dan fokus mengahadapi pemulihan pasca gempa. Ditambah lagi masalah-masalah internal di tubuh KPU sendiri. Dengan demikian, belajar dari pengalaman yang lalu, tanpa persiapan yang matang oleh panitia penyelenggara pemilihan umum akan berdampak kepada distorsi-distorsi dan kecurangan-kecurangan yang dapat mengancam proses politik demokrasi yang demokratis.

Berdasarkan kepada wacana yang dikembangakan di atas, dapat dimunculkan beberapa pertanyaan, yaitu; bagaimana memberikan pendidikan politik, mensosialisasikan pentingnya pilkada dan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses demokratisasi politik yang demokratis? Bagaimana keterlibatan balon-balon kepala daerah dalam proses demokratisasi secara etis dalam suasana duka kolektif? Dan bagaimana juga akan kesiapan KPU serta badan lainnya dalam menyiapkan dan menyajikan proses baralek pilkada yang demokratis.

Atas dasar inilah SCEDEI menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Pilkada dan Bencana” di sekretariat SCEDEI tanggal 4 Desember 2009 yang lalu. Menghadirkan pemancing diskusi diantaranya: Virtous Setyaka, S.IP. M.Si (Dosen FISIP Univ. Andalas), Firdaus, S.Sos (PBHI Sumbar), dan Muhammad Thaufan A, S.Sos (SCEDEI). Mendiskusikan secara mendalam tentang pendidikan politik, mensosialisasikan pentingnya pilkada dan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses demokratisasi politik. Untuk mendiskusikan keterlibatan balon-balon kepala daerah dalam proses demokratisasi secara etis dalam suasana duka kolektif dan kesiapan KPU serta badan lainnya dalam menyiapkan dan menyajikan proses pilkada yang demokratis. Selain itu, berbagi pengalaman antar aktivis LSM tentang pilkada dan bencana di Sumbar, serta membangun kesepahaman kolektif tentang pilkada dan bencana di Sumatera Barat.

Diskusi yang dihadiri utusan NGO, OKP, BEM, dan Ormas ini, menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Menjadikan pilkada dan bencana sebagai momen untuk kebangkitan Sumbar dari berbagai aspek
2. Menyadari pentingnya pilkada sebagai salah satu prinsip demokrasi dan proses pergantian kepala daerah menuju pemerintahan yang demokratis
3. Mensosialisasikan pentingnya pilkada untuk menekan angka golput yang disebabkan oleh tidak terdaftar sebagai pemilih atau tidak mau menggunakan hak pilih.
4. Mengupayakan pendidikan dan pencerahan politik kepada masyarakat sipil
5. Mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat sipil terhadap pemerintah yang disebabkan oleh isu-isu dan wacana-wacana politik dan hukum yang sedang berkembang dari masyarakat pasif, statis, apatis atau aktif-destruktif menjadi masyarakat aktif, kritis, rasional dan objektif.
6. Mengupayakan keterlibatan masyarakat sipil, LSM/NGOs, organisasi masyarakat, organisasi agama, dan elemen-elemen masyarakat lainnya dalam mewujudkan pilkada yang bersih dan demokratis.
7. Mengupayakan sosialisasi praktek politik etis dan pengawasan terhadap praktek politik busuk oleh bandit-bandit politik.
8. Menuntut kesiapan KPU dan lembaga terkait lainnya untuk menyiapkan dan menjamin tahapan-tahapan proses pilkada berjalan secara transparan, akuntabel, dan demokratis.
9. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya benturan antara kelompok masyarakat yang berujung kepada konflik sosial-politik akibat ketidakpuasan atas hasil pilkada.
10. Sebagai tindak lanjut diskusi perlu dilakukan Audiensi dengan anggota DPD MPR-RI, DPRD, dan KPU serta Pembentukan Aliansi atau kelompok kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar