Saksikan Dialog Interaktif TVRI Sumbar - SCEDEI
Tema "Kesiapan Masyarakat Sumbar dalam PILKADA tahun 2010"
12 Januari 2009 - Studio TVRI Sumbar
Pukul : 17.00 WIB
Narasumber :
Zulkifli Djalani (Anggota DPRD Sumbar)
Teddy Alfonso (Ketua Dewan Pengurus SCEDEI)
Eka Vidya Putra (Dosen FIS UNP)
Rabu, 13 Januari 2010
Simposium dan Audiensi dengan DPD MPR-RI
Pemerintahan yang bersih dan kesejahteraan masyarakat (Good Government dan Human Development) adalah harapan dan cita-cita kita semua, pencapaian cita-cita ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik dan hokum yang dilaksanakan oleh pemerintah itu sendiri. Untuk mewujudkan pemerintah yang memiliki kebijakan pro kesejahteraan bersama dan menjunjung tinggi nilai-nilai serta prinsip-prinsip demokrasi, maka harus berlaku padanya hukum kausalitas. Hukum kausalitas untuk melahirkan pemerintah yang pro kepada kesejahteraan bersama itu, ialah mengimplementasikan tujuan otonomi daerah dan proses pembentukan dan pemilihan kepala daerah secara demokratis.
Perubahan system politik Indonesia dari sentralisasi ke desentralisasi atau lebih dikenal dengan otonomi daerah, salah satu tujuannya adalah meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak rakyat. Karena diasumsikan Pemda lebih dekat dengan masyarakat dan lebih mengerti dan memahami akan kebutuhan masyarakat daerah dari pada pemerintahan pusat. Dalam prakteknya, konsep otonomi daerah itu ada empat model, yaitu; Pertama, model deconcentration, yakni distribusi wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan. Kedua, model delegition to semi autonomous or parastatal organization, yakni pendelegasian otoritas managemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah. Ketiga, model devolution, yakni penyerahan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah otonom dan Keempat, model privatisation, yakni penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggungjawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta (Syarif Hidayat, 2006:15-16).
Berdasarkan kepada tujuan otonomi daerah di atas dan dikaitkan dengan kontek objektif daerah Sumbar pasca bencana gempa, dimana masyarakatnya masih dalam keadaan trouma dan terpuruk secara psikologis, sosialis, dan ekonomis, maka sangat membutuhkan pemimpin politik – dalam proses pilkada nanti- yang dapat mempercepat laju pemerintahan dalam membangkitkan masyarakat daerah dari keterpurukan dan ketertinggalan menuju masyarakat yang sejahtera.
Hasil dari pilkada langsung mestinya akan menghasilkan kepala daerah yang mampu dalam mengelola organisasi Pemerintah Daerah, segenap sumberdaya manusia (PNS) dan aset-aset daerah untuk mensejahterakan rakyat (human development). Hal ini disebabkan pilkada langsung adalah arena syah secara politik dan hukum untuk memilih aktor politik terbaik di daerah dengan sejumlah kriteria menurut selera dan aspirasi rakyat tanpa ada intervensi politik apapun dan dari manapun. Berbeda dengan pilkada versi perwakilan rakyat (DPRD), dimana aneka intervensi, intrik, klik dan konsesi politik lebih mendominasi.
Akan tetapi, kita menyadari bahwa kebanyakan masyarakat Sumbar belum memiliki penegetahuan dan kecerdasan politik yang memadai dalam menentukan dan menetapkan pilihan secara rasional dan objektif. Sehingga dengan kondisi seperti ini memiliki efek penghalang yang besar dalam menentukan kepala daerah yang tepat. Oleh karena itu, sangat dianggap penting untuk menetapkan dan mendemonstrasikan kriteria-kriteria pemimpin daerah yang ramah akan kebijakan lokal oleh badan penyelenggara Pilkada (KPU) kepada masyarakat. Penetapan kriteria-kriteria ini adalah bagian dari pendidikan dan pencerahan politik. Tanpa usaha ini, akan dikawatirkan masyarakat Sumbar akan kecolongan secara politis dalam hal tempat mengamanahkan hak-hak mereka.
Momen Pilkada, dalam kondisi mental dan ekonomi yang masih terseok-seok, masyarakat Sumbar sangat rentan sekali untuk ditunggangi atau dimanfaatkan secara politis oleh kelompok-kelompok yang berkempenting. Hal ini sangat mungkin akan terjadi, sebab masyarakat akan cenderung pragmatis dan masyarakat terlupa akan hak-hak dan kesejahteraannya dalam jangka panjang karena diperdaya untuk ”menjual suara” sehingga memperoleh keuntungan-keuntungan material/finansial yang bersifat sementara. Dengan demikian, praktek money politik kembali memegang kendali dan berjaya.
Berdasarkan kepada wacana di atas, maka timbul keyakinan akan sangat pentingnya sebuah kesadaran dan kesepahaman akan kondisi objektif yang sedang melanda masyarakat Sumbar. Oleh karena itu, melalui pilkada sangat diharapkan dapat melahirkan pemimpin terpilih yang memiliki karakteristik yang mampu mengakselerasikan cita-cita otonomi daerah, yaitu kesejahteraan masyarakat (human development). Tentu, untuk mewujudkan pemimpin yang dicita-citakan seperti demikian, tidak bisa terlepas dari calon pemilih yang telah tercerahkan secara politis, sehingga bisa melakukan penilaian, pemilihan dan penetapan secara kritis, rasional dan objektif.
SCEDEI menyelenggarakan Simposium dengan tema ”Mencita-citakan Good Government dan Human Development Melalui Pilkada Yang Demokratis”, sebagai refleksi terhadap perkembangan sosial-politik masyarakat hari ini. Simposium yang diselenggarakan pada tanggal 23 Desember 2009 di Sekretariat KPMM.
Simposium ini merupakan tindak lanjut dari diskusi tanggal 4 Desember 2009 yakni audiensi dengan anggota legislatif. Kebetulan anggota DPD MPR-RI perwakilan Sumatera Barat sedang melakukan reses sehingga dalam simposium ini dapat menghadirkan Alirmansori, SH. M.Hum. MM sebagai pembicara.
Sejak jauh hari, Sumatera Barat telah menjadi perhatian dunia, bukan karena Sumatera Barat adalah daerah produksi senjata nuklir atau pusat ladang minyak, tetapi karena Sumatera Barat daerah ”lumbung” bencana. Bertepatan pada tanggal 30 september 2009, gempa bumi yang berkekuatan 7,6 SR telah meluluh-lantahkan Sumbar. Akibat gempa tersebut, ekonomi Sumbar menjadi semakin terpuruk yang sebelum juga sudah ”carut-marut”, pengangguran bertambah, budaya lokal terancam, pendeknya gempa mengakibatkan kerugian fisik dan mental yang besar pada masyarakat Sumbar. Dengan kondisi yang masih lemah dan trauma pada bencana gempa tersebut, pada tanggal 16 juni 2009 masyarakat sumbar dihadapkan pada pilkada serentak di tiga belas kab/kota dan satu provinsi. Ada dua wacana yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh sumbar, yaitu pilkada harus ditunda mengingat kondisi masyarakat yang belum siap untuk mengikuti pilkada. Pendapat lain menyatakan, pilkada tidak perlu ditunda. Pendapat yang terakhir ini diamini oleh badan pengelola dan penyelenggara pemilu (Departemen Dalam Negeri dan KPU).
Bencana dan pilkada adalah dua hal yang jauh berbeda tetapi memiliki kaitan yang sangat erat. Bencana telah mengahancurkan masyarakat Sumbar. Oleh karena itu, masyarakat sumbar harus bangkit dari kehancuran tersebut. Harapan untuk bangkit dari kehancuran dan keterpurukan tersebut harus didukung oleh pemerintahan yang baik dan memiliki orientasi kesejahteraan rakyat. oleh karena itu, masyarakat Sumbar harus dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kemampuan dan integritas yang tinggi. Tentu saja untuk mendapatkan pemimpin yang dicita-citakan tersebut tidak terlepas dari proses pilkada yang akan dilakukan.
Untuk menjawab karakteristik pemimpin seperti apa yang cocok memimpin Sumbar kedepan, Scedei mengangkatkan Simposium yang bertemakan ”Mencita-citakan Good Government dan Human Development Melalui Pilkada Yang Demokratis di Sumbar” tanggal 23 Desember 2009, dengan pembicaranya Alirman Sori, (Anggota DPD MPR-RI) yang dihadiri oleh beberapa kalangan dari perwakilan LSM, Ormas, dan Mahasiswa. Dari simposium tersebut, banyak bermunculan ide-ide cerdas dan rekomendsi-rekomendsi yang membangun.
Persoalan yang terpenting disorot oleh Alirman Sori di antaranya ialah faktor-faktor kegagalan dalam pilkada. Dalam kontek ini, yang dilihat oleh Alirman adalah praktek atau perilaku politik dari calon peserta pemilu. Ia mengatakan, ada dua faktor yang menjadikan proses pilkada menjadi ternoda, yaitu penampilan atau performant dan politik uang. Dua hal ini, kata Alirman, telah menjadi komoditi handal atau senjata ampuh yang digunakan oleh calon peserta pilkada untuk memenangkan peraihan suara dalam pilkada. Padahal, dua bentuk praktek politik tersebut, selain mencederai demokrasi juga bersifat destruktif. Penampilan fisik bukanlah jaminan untuk bisa menjadi pemimpin yang layak untuk Sumbar, sedangkan politik uang sudah barang tentu menjadikan kedudukan politik sebagai kepentingkan pribadi atau kelompok.
Di samping itu, Alirman Sori menawarkan kriteria-kriteria pemimpin, khususnya yang layak untuk memimpin Sumbar kedepan. Kriteria-kriteria tersebut ialah bahwa pemimpin tersebut harus memiliki dedikasi, kredibilitas, kecakapan dan kemampuan dasar, dapat membaca potensi daerah, dapat membaca karakteristik masyarakatnya, memiliki komunikasi vertikal yang kuat, memiliki kemampuan atau nilai-nilai spritual yang kuat, memiliki komitmen yang jelas dan tinggi, menghindari benturan kepentingan, terbuka untuk dikritik.
Kriteria-kriteria yang dikemukakan di atas, bagi Alirman Sori merupakan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh calon yang akan ikut bertarung dalam pilkada Sumbar nanti. Hanya dengan memenuhi kriteria tersebut Sumbar dapat dibangkitkan dari keterpurukan multi-dimensi. Mengangkat Sumbar yang sedang terluka, sangat diperlukan penggeliatan dri segala dimensi yang distimulus oleh terobosan-terobosan yang strategis. Di sini, integral lintas sektoral dan komunikasi inter profesional harus dibangun bersama-sama, sehingga terwujud saling isi dan saling sinergi.
Alirman Sori juga mennyigi kapasitas calon pemilih yang akan terlibat dalam pilkada Sumbar. Ia mengatakan bahwa masyarakat Sumbar belum memiliki kemampuan dan pengetahuan politik yang objektif, rasional dan kritis. Agar masyarakat Sumbar jangan sampai kecolongan dalam menentukan pilihan dan terpilihnya pemimpin yang tidak memiliki orientasi kesejahteraan masyarakat, maka perlu dilakukan gerakan pendidikan dan pencerahan politik kepada masyarakat ”akar rumput” untuk meningkatkan kapasitas individu tentang politik dan pilkada. Ia menambahkan, kondisi masyarakat sumbar yang masih lemah, baik mental maupun ekonomi, cenderung bersifat pragmatis. Kondisi ini dalam pilkada nanti sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dalam bentuk, sebut saja pembelian suara atau politik uang.
Pilkada serentak di Sumbar pertengahan juni 2009 nanti, sebut Alirman Sori, sangat potensi ”bergelimang” masalah. Menilik kepada pengalaman pilkada 2005, pilleg dan pilpres 2009 di Sumbar yang lalu, tahapan-tahapan pilkada banyak yang bermasalah, terutama sekali masalah DPT. Dari identifikasi masalah DPT, ditemukan data yang ganda, calon pemilih yang tidak terdata, data calon pemilih yang telah meninggal tapi masih dikeluarkan dan lain sebagainya. Masalah klasik ini sampai hari ini belum terlihat tindaklanjut dan kemajuan signifikan yang dilakukan oleh KPU Sumbar.
Di dalam proses pilkada, peran dan partisipasi aktif masyarakat sangat dibutuhkan. Partisipasi aktif masyarakat merupakan salah satu pilar demokrasi dan juga merupakan salah satu langkah terwujudnya pilkada yang bersih dan demokratis. Baik langsung maupun tidak, masyarakat dapat melakukan pengawalan dan pengawasan atas proses pilkada. Alirman Sori memprediksi pilkada di Sumbar pertengahan tahun nanti akan kurang mendapatkan partisipasi masyarakat. Ia beralasan, dengan kondisi hukum dan politik yang kurang stabil di Indonesia serta kasus-kasus hukum dan peradilan yang mencederai rasa keadilan rakyat akan berdampak kepada kurangnya partisipasi masyarakat atas pilkada. Kasus-kasus politik dan hukum itu juga merambah ke daerah-daerah, tidak terkecuali Sumbar, sebut saja kasus uang lauk pauk yang menimbulkan kekesalan pada masyarakat bawah.
Kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang suka ”memperkosa” hak masyarakat bawah, semakin menambah rasa ketidakpercayaan mereka terhadap seluruh institusi pemerintahan. Ini terbukti, ketika kita melihat persentase pemilih sejak pilpres tahun 2004 hingga pilpres 2009 cenderung menurun dan golput meningkat. Ini adalah bukti yang dapat diasumsikan bahwa masyakat semakin tidak percaya kepada pemerintah. Masyarakat bawah merasa keterlibatan mereka dalam pilkada hanya menguntungkan individu atau kelompok tertentu. Sebab, setelah beberapa bulan berakhirnya pilkada, masyarakat tidak merasakan perobahan yang signifikan pada dirinya yang dilakukan oleh pemerintahan.
Semenjak diberlakukannya sistem desentralisasi atau otonomi daerah, dimana sistem ini bertujuan untuk dapat lebih mempercepat meningkatkan kualitas, kapasitas dan kesejahteraan hidup masyarakat. Namun hingga dewasa ini, sistem otonomi daerah belum menunjukkan dan memberikan perubahan yang signifikan dirasakan langsung oleh masyarakat.
Sebagai anggota Dewan perwakilan masyarakat Sumbar, Alirman Sori menyadari kelemahan-kelemahan, baik masyarakat bawah maupun pemerintah. Untuk itu, harus ada upaya dan terobosan strategis yang harus dilakukan untuk melecut percepatan kebangkitan Sumbar. Terkait dengan pilkada, bukan saja pemerintah tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat terdidik harus mengambil peran dan terlibat aktif dalam melakukan penguatan kapasitas, kualitas, pencerahan dan pendidikan politik pada masyarakat bawah.
Perubahan system politik Indonesia dari sentralisasi ke desentralisasi atau lebih dikenal dengan otonomi daerah, salah satu tujuannya adalah meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak rakyat. Karena diasumsikan Pemda lebih dekat dengan masyarakat dan lebih mengerti dan memahami akan kebutuhan masyarakat daerah dari pada pemerintahan pusat. Dalam prakteknya, konsep otonomi daerah itu ada empat model, yaitu; Pertama, model deconcentration, yakni distribusi wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan. Kedua, model delegition to semi autonomous or parastatal organization, yakni pendelegasian otoritas managemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah. Ketiga, model devolution, yakni penyerahan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah otonom dan Keempat, model privatisation, yakni penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggungjawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta (Syarif Hidayat, 2006:15-16).
Berdasarkan kepada tujuan otonomi daerah di atas dan dikaitkan dengan kontek objektif daerah Sumbar pasca bencana gempa, dimana masyarakatnya masih dalam keadaan trouma dan terpuruk secara psikologis, sosialis, dan ekonomis, maka sangat membutuhkan pemimpin politik – dalam proses pilkada nanti- yang dapat mempercepat laju pemerintahan dalam membangkitkan masyarakat daerah dari keterpurukan dan ketertinggalan menuju masyarakat yang sejahtera.
Hasil dari pilkada langsung mestinya akan menghasilkan kepala daerah yang mampu dalam mengelola organisasi Pemerintah Daerah, segenap sumberdaya manusia (PNS) dan aset-aset daerah untuk mensejahterakan rakyat (human development). Hal ini disebabkan pilkada langsung adalah arena syah secara politik dan hukum untuk memilih aktor politik terbaik di daerah dengan sejumlah kriteria menurut selera dan aspirasi rakyat tanpa ada intervensi politik apapun dan dari manapun. Berbeda dengan pilkada versi perwakilan rakyat (DPRD), dimana aneka intervensi, intrik, klik dan konsesi politik lebih mendominasi.
Akan tetapi, kita menyadari bahwa kebanyakan masyarakat Sumbar belum memiliki penegetahuan dan kecerdasan politik yang memadai dalam menentukan dan menetapkan pilihan secara rasional dan objektif. Sehingga dengan kondisi seperti ini memiliki efek penghalang yang besar dalam menentukan kepala daerah yang tepat. Oleh karena itu, sangat dianggap penting untuk menetapkan dan mendemonstrasikan kriteria-kriteria pemimpin daerah yang ramah akan kebijakan lokal oleh badan penyelenggara Pilkada (KPU) kepada masyarakat. Penetapan kriteria-kriteria ini adalah bagian dari pendidikan dan pencerahan politik. Tanpa usaha ini, akan dikawatirkan masyarakat Sumbar akan kecolongan secara politis dalam hal tempat mengamanahkan hak-hak mereka.
Momen Pilkada, dalam kondisi mental dan ekonomi yang masih terseok-seok, masyarakat Sumbar sangat rentan sekali untuk ditunggangi atau dimanfaatkan secara politis oleh kelompok-kelompok yang berkempenting. Hal ini sangat mungkin akan terjadi, sebab masyarakat akan cenderung pragmatis dan masyarakat terlupa akan hak-hak dan kesejahteraannya dalam jangka panjang karena diperdaya untuk ”menjual suara” sehingga memperoleh keuntungan-keuntungan material/finansial yang bersifat sementara. Dengan demikian, praktek money politik kembali memegang kendali dan berjaya.
Berdasarkan kepada wacana di atas, maka timbul keyakinan akan sangat pentingnya sebuah kesadaran dan kesepahaman akan kondisi objektif yang sedang melanda masyarakat Sumbar. Oleh karena itu, melalui pilkada sangat diharapkan dapat melahirkan pemimpin terpilih yang memiliki karakteristik yang mampu mengakselerasikan cita-cita otonomi daerah, yaitu kesejahteraan masyarakat (human development). Tentu, untuk mewujudkan pemimpin yang dicita-citakan seperti demikian, tidak bisa terlepas dari calon pemilih yang telah tercerahkan secara politis, sehingga bisa melakukan penilaian, pemilihan dan penetapan secara kritis, rasional dan objektif.
SCEDEI menyelenggarakan Simposium dengan tema ”Mencita-citakan Good Government dan Human Development Melalui Pilkada Yang Demokratis”, sebagai refleksi terhadap perkembangan sosial-politik masyarakat hari ini. Simposium yang diselenggarakan pada tanggal 23 Desember 2009 di Sekretariat KPMM.
Simposium ini merupakan tindak lanjut dari diskusi tanggal 4 Desember 2009 yakni audiensi dengan anggota legislatif. Kebetulan anggota DPD MPR-RI perwakilan Sumatera Barat sedang melakukan reses sehingga dalam simposium ini dapat menghadirkan Alirmansori, SH. M.Hum. MM sebagai pembicara.
Sejak jauh hari, Sumatera Barat telah menjadi perhatian dunia, bukan karena Sumatera Barat adalah daerah produksi senjata nuklir atau pusat ladang minyak, tetapi karena Sumatera Barat daerah ”lumbung” bencana. Bertepatan pada tanggal 30 september 2009, gempa bumi yang berkekuatan 7,6 SR telah meluluh-lantahkan Sumbar. Akibat gempa tersebut, ekonomi Sumbar menjadi semakin terpuruk yang sebelum juga sudah ”carut-marut”, pengangguran bertambah, budaya lokal terancam, pendeknya gempa mengakibatkan kerugian fisik dan mental yang besar pada masyarakat Sumbar. Dengan kondisi yang masih lemah dan trauma pada bencana gempa tersebut, pada tanggal 16 juni 2009 masyarakat sumbar dihadapkan pada pilkada serentak di tiga belas kab/kota dan satu provinsi. Ada dua wacana yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh sumbar, yaitu pilkada harus ditunda mengingat kondisi masyarakat yang belum siap untuk mengikuti pilkada. Pendapat lain menyatakan, pilkada tidak perlu ditunda. Pendapat yang terakhir ini diamini oleh badan pengelola dan penyelenggara pemilu (Departemen Dalam Negeri dan KPU).
Bencana dan pilkada adalah dua hal yang jauh berbeda tetapi memiliki kaitan yang sangat erat. Bencana telah mengahancurkan masyarakat Sumbar. Oleh karena itu, masyarakat sumbar harus bangkit dari kehancuran tersebut. Harapan untuk bangkit dari kehancuran dan keterpurukan tersebut harus didukung oleh pemerintahan yang baik dan memiliki orientasi kesejahteraan rakyat. oleh karena itu, masyarakat Sumbar harus dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kemampuan dan integritas yang tinggi. Tentu saja untuk mendapatkan pemimpin yang dicita-citakan tersebut tidak terlepas dari proses pilkada yang akan dilakukan.
Untuk menjawab karakteristik pemimpin seperti apa yang cocok memimpin Sumbar kedepan, Scedei mengangkatkan Simposium yang bertemakan ”Mencita-citakan Good Government dan Human Development Melalui Pilkada Yang Demokratis di Sumbar” tanggal 23 Desember 2009, dengan pembicaranya Alirman Sori, (Anggota DPD MPR-RI) yang dihadiri oleh beberapa kalangan dari perwakilan LSM, Ormas, dan Mahasiswa. Dari simposium tersebut, banyak bermunculan ide-ide cerdas dan rekomendsi-rekomendsi yang membangun.
Persoalan yang terpenting disorot oleh Alirman Sori di antaranya ialah faktor-faktor kegagalan dalam pilkada. Dalam kontek ini, yang dilihat oleh Alirman adalah praktek atau perilaku politik dari calon peserta pemilu. Ia mengatakan, ada dua faktor yang menjadikan proses pilkada menjadi ternoda, yaitu penampilan atau performant dan politik uang. Dua hal ini, kata Alirman, telah menjadi komoditi handal atau senjata ampuh yang digunakan oleh calon peserta pilkada untuk memenangkan peraihan suara dalam pilkada. Padahal, dua bentuk praktek politik tersebut, selain mencederai demokrasi juga bersifat destruktif. Penampilan fisik bukanlah jaminan untuk bisa menjadi pemimpin yang layak untuk Sumbar, sedangkan politik uang sudah barang tentu menjadikan kedudukan politik sebagai kepentingkan pribadi atau kelompok.
Di samping itu, Alirman Sori menawarkan kriteria-kriteria pemimpin, khususnya yang layak untuk memimpin Sumbar kedepan. Kriteria-kriteria tersebut ialah bahwa pemimpin tersebut harus memiliki dedikasi, kredibilitas, kecakapan dan kemampuan dasar, dapat membaca potensi daerah, dapat membaca karakteristik masyarakatnya, memiliki komunikasi vertikal yang kuat, memiliki kemampuan atau nilai-nilai spritual yang kuat, memiliki komitmen yang jelas dan tinggi, menghindari benturan kepentingan, terbuka untuk dikritik.
Kriteria-kriteria yang dikemukakan di atas, bagi Alirman Sori merupakan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh calon yang akan ikut bertarung dalam pilkada Sumbar nanti. Hanya dengan memenuhi kriteria tersebut Sumbar dapat dibangkitkan dari keterpurukan multi-dimensi. Mengangkat Sumbar yang sedang terluka, sangat diperlukan penggeliatan dri segala dimensi yang distimulus oleh terobosan-terobosan yang strategis. Di sini, integral lintas sektoral dan komunikasi inter profesional harus dibangun bersama-sama, sehingga terwujud saling isi dan saling sinergi.
Alirman Sori juga mennyigi kapasitas calon pemilih yang akan terlibat dalam pilkada Sumbar. Ia mengatakan bahwa masyarakat Sumbar belum memiliki kemampuan dan pengetahuan politik yang objektif, rasional dan kritis. Agar masyarakat Sumbar jangan sampai kecolongan dalam menentukan pilihan dan terpilihnya pemimpin yang tidak memiliki orientasi kesejahteraan masyarakat, maka perlu dilakukan gerakan pendidikan dan pencerahan politik kepada masyarakat ”akar rumput” untuk meningkatkan kapasitas individu tentang politik dan pilkada. Ia menambahkan, kondisi masyarakat sumbar yang masih lemah, baik mental maupun ekonomi, cenderung bersifat pragmatis. Kondisi ini dalam pilkada nanti sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dalam bentuk, sebut saja pembelian suara atau politik uang.
Pilkada serentak di Sumbar pertengahan juni 2009 nanti, sebut Alirman Sori, sangat potensi ”bergelimang” masalah. Menilik kepada pengalaman pilkada 2005, pilleg dan pilpres 2009 di Sumbar yang lalu, tahapan-tahapan pilkada banyak yang bermasalah, terutama sekali masalah DPT. Dari identifikasi masalah DPT, ditemukan data yang ganda, calon pemilih yang tidak terdata, data calon pemilih yang telah meninggal tapi masih dikeluarkan dan lain sebagainya. Masalah klasik ini sampai hari ini belum terlihat tindaklanjut dan kemajuan signifikan yang dilakukan oleh KPU Sumbar.
Di dalam proses pilkada, peran dan partisipasi aktif masyarakat sangat dibutuhkan. Partisipasi aktif masyarakat merupakan salah satu pilar demokrasi dan juga merupakan salah satu langkah terwujudnya pilkada yang bersih dan demokratis. Baik langsung maupun tidak, masyarakat dapat melakukan pengawalan dan pengawasan atas proses pilkada. Alirman Sori memprediksi pilkada di Sumbar pertengahan tahun nanti akan kurang mendapatkan partisipasi masyarakat. Ia beralasan, dengan kondisi hukum dan politik yang kurang stabil di Indonesia serta kasus-kasus hukum dan peradilan yang mencederai rasa keadilan rakyat akan berdampak kepada kurangnya partisipasi masyarakat atas pilkada. Kasus-kasus politik dan hukum itu juga merambah ke daerah-daerah, tidak terkecuali Sumbar, sebut saja kasus uang lauk pauk yang menimbulkan kekesalan pada masyarakat bawah.
Kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang suka ”memperkosa” hak masyarakat bawah, semakin menambah rasa ketidakpercayaan mereka terhadap seluruh institusi pemerintahan. Ini terbukti, ketika kita melihat persentase pemilih sejak pilpres tahun 2004 hingga pilpres 2009 cenderung menurun dan golput meningkat. Ini adalah bukti yang dapat diasumsikan bahwa masyakat semakin tidak percaya kepada pemerintah. Masyarakat bawah merasa keterlibatan mereka dalam pilkada hanya menguntungkan individu atau kelompok tertentu. Sebab, setelah beberapa bulan berakhirnya pilkada, masyarakat tidak merasakan perobahan yang signifikan pada dirinya yang dilakukan oleh pemerintahan.
Semenjak diberlakukannya sistem desentralisasi atau otonomi daerah, dimana sistem ini bertujuan untuk dapat lebih mempercepat meningkatkan kualitas, kapasitas dan kesejahteraan hidup masyarakat. Namun hingga dewasa ini, sistem otonomi daerah belum menunjukkan dan memberikan perubahan yang signifikan dirasakan langsung oleh masyarakat.
Sebagai anggota Dewan perwakilan masyarakat Sumbar, Alirman Sori menyadari kelemahan-kelemahan, baik masyarakat bawah maupun pemerintah. Untuk itu, harus ada upaya dan terobosan strategis yang harus dilakukan untuk melecut percepatan kebangkitan Sumbar. Terkait dengan pilkada, bukan saja pemerintah tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat terdidik harus mengambil peran dan terlibat aktif dalam melakukan penguatan kapasitas, kualitas, pencerahan dan pendidikan politik pada masyarakat bawah.
Diskusi Bulanan SCEDEI (4 Des' 09)
Secara potensial, Sumatera Barat merupakan daerah yang paling rawan dengan bencana alam, sebut saja gempa bumi, stunami, letusan gunung berapi, banjir, kekeringan, angin topan, gelombang pasang, abrasi, dan longsor. Sederet potensi bencana alam itu, satu per-satu telah mulai mengancam, merugikan dan menghancurkan alam dan masyarakat Sumbar.
Gempabumi yang terjadi pada tanggal 30 September 2009 dengan berkekuatan 7,9 SR adalah salah satu potensi bencana yang telah meluluh-lantahkan Sumatera Barat dan sekitarnya. Hingga diperkirakan, seluruh kerugian yang di alami tercatat sebanyak 20,86 triliun. Atas dasar rasa simpati, empati dan nilai-nilai kemanusiaan, dari berbagai kalangan, kelompok dan wilayah telah ikut berpartisipasi memberikan bantuan berupa makanan, pakaian, obat-obatan dan lain sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tiga bulan hingga kini pasca gempa, dampak gempa di Sumaatera Barat masih meninggalkan segudang masalah yang sangat mendesak untuk diselesaikan. Mulai dari rehabilitasi dan rekonstruksi fisik fasilitas umum dan masyarakat sipil hingga rehabilitasi dan rekonstruksi mental masyarakat yang sempat down akibat gempa. Untuk mengatasi semua itu, sangat dibutuhkan perhatian yang serius dan membangun.
Limbak dari pada itu, Sumatera Barat yang masih bersimbah kesedihan, akan menghadapi agenda wajib demokrasi yang sudah diambang pintu. Sebanyak 13 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat plus satu Provinsi akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2010. Oleh karena itu, Apakah pilkada di daerah yang sedang terluka ini bisa menjadi momentum untuk bangkit dari keterpurukan dan muti-kekrisisan?
Menjadikan pilkada sebagai momentum untuk kebangkitan Sumatera Barat sangatlah tepat dan beralasan. Namun begitu, apakah masyarakat Sumatera Barat sudah siap atau belum untuk menghadapai pesta ini. Karena, pesta demokrasi yang demokratis sangat membutuhkan partisipasi masyarakat sipil dalam prosesi pemilu. Sementara itu, masyarakat Sumbar baik yang tergabung dalam ormas-ormas maupun tidak tengah disibukkan dengan penyelesaian masalah kemasyarakatan akibat gempa. Kemudian, disebagian daerah Sumbar yang terkena gempa dengan tingkat kerusakan yang cukup parah, seperti Padang, Padang Pariaman dan Agam, masyarakatnya masih diselimuti oleh rasa sedih dan krisis ekonomi. Disamping itu, agenda pendidikan politik juga penting dilakukan untuk masyarakat Sumbar pada umumnya.
Sangat besar harapan masyarakat Sumbar untuk dapat kembali bangkit bersamaan dengan pilkada yang demokratis. Tetapi, harapan itu akan berpotensi sirna akibat praktek politik yang tidak demokratis. Ketidakdemokratisan proses pilkada mungkin saja disebabkan oleh balon-balon yang akan maju ke pentas pertarungan pemilihan, terutama balon incumbent. Di sini yang mejadi perhatian adalah etika politik dari balon-balon yang ikut bertarung tersebut. Sebab, dalam suasana sebagian masyarakat yang masih diliputi oleh rasa kesedihan yang medalam, para kandidat mengkapanyekan dirinya dengan mengusung beberapa visi dan misi yang membosankan telingga masyarakat mendengarkannya. Selain itu, juga sangat berpotensi akan terjadinya praktek money politik, karena dengan kondisi masyarakat yang sangat lemah dan goyah, baik secara pengetahuan maupun ekonomi, cukup rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan politik. Bandit-bandit politik pasti bermain.
Untuk mewujudkan pilkada yang demokratis, juga tidak bisa terlepas dari kesiapan KPU sebagai panitia penyelenggara pemilahan umum dan pengawasan pemilihan umum. Khusus untuk Summatera Barat, perhatian dan energi seluruh masyarakat telah terkuras dan fokus mengahadapi pemulihan pasca gempa. Ditambah lagi masalah-masalah internal di tubuh KPU sendiri. Dengan demikian, belajar dari pengalaman yang lalu, tanpa persiapan yang matang oleh panitia penyelenggara pemilihan umum akan berdampak kepada distorsi-distorsi dan kecurangan-kecurangan yang dapat mengancam proses politik demokrasi yang demokratis.
Berdasarkan kepada wacana yang dikembangakan di atas, dapat dimunculkan beberapa pertanyaan, yaitu; bagaimana memberikan pendidikan politik, mensosialisasikan pentingnya pilkada dan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses demokratisasi politik yang demokratis? Bagaimana keterlibatan balon-balon kepala daerah dalam proses demokratisasi secara etis dalam suasana duka kolektif? Dan bagaimana juga akan kesiapan KPU serta badan lainnya dalam menyiapkan dan menyajikan proses baralek pilkada yang demokratis.
Atas dasar inilah SCEDEI menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Pilkada dan Bencana” di sekretariat SCEDEI tanggal 4 Desember 2009 yang lalu. Menghadirkan pemancing diskusi diantaranya: Virtous Setyaka, S.IP. M.Si (Dosen FISIP Univ. Andalas), Firdaus, S.Sos (PBHI Sumbar), dan Muhammad Thaufan A, S.Sos (SCEDEI). Mendiskusikan secara mendalam tentang pendidikan politik, mensosialisasikan pentingnya pilkada dan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses demokratisasi politik. Untuk mendiskusikan keterlibatan balon-balon kepala daerah dalam proses demokratisasi secara etis dalam suasana duka kolektif dan kesiapan KPU serta badan lainnya dalam menyiapkan dan menyajikan proses pilkada yang demokratis. Selain itu, berbagi pengalaman antar aktivis LSM tentang pilkada dan bencana di Sumbar, serta membangun kesepahaman kolektif tentang pilkada dan bencana di Sumatera Barat.
Diskusi yang dihadiri utusan NGO, OKP, BEM, dan Ormas ini, menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Menjadikan pilkada dan bencana sebagai momen untuk kebangkitan Sumbar dari berbagai aspek
2. Menyadari pentingnya pilkada sebagai salah satu prinsip demokrasi dan proses pergantian kepala daerah menuju pemerintahan yang demokratis
3. Mensosialisasikan pentingnya pilkada untuk menekan angka golput yang disebabkan oleh tidak terdaftar sebagai pemilih atau tidak mau menggunakan hak pilih.
4. Mengupayakan pendidikan dan pencerahan politik kepada masyarakat sipil
5. Mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat sipil terhadap pemerintah yang disebabkan oleh isu-isu dan wacana-wacana politik dan hukum yang sedang berkembang dari masyarakat pasif, statis, apatis atau aktif-destruktif menjadi masyarakat aktif, kritis, rasional dan objektif.
6. Mengupayakan keterlibatan masyarakat sipil, LSM/NGOs, organisasi masyarakat, organisasi agama, dan elemen-elemen masyarakat lainnya dalam mewujudkan pilkada yang bersih dan demokratis.
7. Mengupayakan sosialisasi praktek politik etis dan pengawasan terhadap praktek politik busuk oleh bandit-bandit politik.
8. Menuntut kesiapan KPU dan lembaga terkait lainnya untuk menyiapkan dan menjamin tahapan-tahapan proses pilkada berjalan secara transparan, akuntabel, dan demokratis.
9. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya benturan antara kelompok masyarakat yang berujung kepada konflik sosial-politik akibat ketidakpuasan atas hasil pilkada.
10. Sebagai tindak lanjut diskusi perlu dilakukan Audiensi dengan anggota DPD MPR-RI, DPRD, dan KPU serta Pembentukan Aliansi atau kelompok kerja.
Gempabumi yang terjadi pada tanggal 30 September 2009 dengan berkekuatan 7,9 SR adalah salah satu potensi bencana yang telah meluluh-lantahkan Sumatera Barat dan sekitarnya. Hingga diperkirakan, seluruh kerugian yang di alami tercatat sebanyak 20,86 triliun. Atas dasar rasa simpati, empati dan nilai-nilai kemanusiaan, dari berbagai kalangan, kelompok dan wilayah telah ikut berpartisipasi memberikan bantuan berupa makanan, pakaian, obat-obatan dan lain sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tiga bulan hingga kini pasca gempa, dampak gempa di Sumaatera Barat masih meninggalkan segudang masalah yang sangat mendesak untuk diselesaikan. Mulai dari rehabilitasi dan rekonstruksi fisik fasilitas umum dan masyarakat sipil hingga rehabilitasi dan rekonstruksi mental masyarakat yang sempat down akibat gempa. Untuk mengatasi semua itu, sangat dibutuhkan perhatian yang serius dan membangun.
Limbak dari pada itu, Sumatera Barat yang masih bersimbah kesedihan, akan menghadapi agenda wajib demokrasi yang sudah diambang pintu. Sebanyak 13 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat plus satu Provinsi akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2010. Oleh karena itu, Apakah pilkada di daerah yang sedang terluka ini bisa menjadi momentum untuk bangkit dari keterpurukan dan muti-kekrisisan?
Menjadikan pilkada sebagai momentum untuk kebangkitan Sumatera Barat sangatlah tepat dan beralasan. Namun begitu, apakah masyarakat Sumatera Barat sudah siap atau belum untuk menghadapai pesta ini. Karena, pesta demokrasi yang demokratis sangat membutuhkan partisipasi masyarakat sipil dalam prosesi pemilu. Sementara itu, masyarakat Sumbar baik yang tergabung dalam ormas-ormas maupun tidak tengah disibukkan dengan penyelesaian masalah kemasyarakatan akibat gempa. Kemudian, disebagian daerah Sumbar yang terkena gempa dengan tingkat kerusakan yang cukup parah, seperti Padang, Padang Pariaman dan Agam, masyarakatnya masih diselimuti oleh rasa sedih dan krisis ekonomi. Disamping itu, agenda pendidikan politik juga penting dilakukan untuk masyarakat Sumbar pada umumnya.
Sangat besar harapan masyarakat Sumbar untuk dapat kembali bangkit bersamaan dengan pilkada yang demokratis. Tetapi, harapan itu akan berpotensi sirna akibat praktek politik yang tidak demokratis. Ketidakdemokratisan proses pilkada mungkin saja disebabkan oleh balon-balon yang akan maju ke pentas pertarungan pemilihan, terutama balon incumbent. Di sini yang mejadi perhatian adalah etika politik dari balon-balon yang ikut bertarung tersebut. Sebab, dalam suasana sebagian masyarakat yang masih diliputi oleh rasa kesedihan yang medalam, para kandidat mengkapanyekan dirinya dengan mengusung beberapa visi dan misi yang membosankan telingga masyarakat mendengarkannya. Selain itu, juga sangat berpotensi akan terjadinya praktek money politik, karena dengan kondisi masyarakat yang sangat lemah dan goyah, baik secara pengetahuan maupun ekonomi, cukup rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan politik. Bandit-bandit politik pasti bermain.
Untuk mewujudkan pilkada yang demokratis, juga tidak bisa terlepas dari kesiapan KPU sebagai panitia penyelenggara pemilahan umum dan pengawasan pemilihan umum. Khusus untuk Summatera Barat, perhatian dan energi seluruh masyarakat telah terkuras dan fokus mengahadapi pemulihan pasca gempa. Ditambah lagi masalah-masalah internal di tubuh KPU sendiri. Dengan demikian, belajar dari pengalaman yang lalu, tanpa persiapan yang matang oleh panitia penyelenggara pemilihan umum akan berdampak kepada distorsi-distorsi dan kecurangan-kecurangan yang dapat mengancam proses politik demokrasi yang demokratis.
Berdasarkan kepada wacana yang dikembangakan di atas, dapat dimunculkan beberapa pertanyaan, yaitu; bagaimana memberikan pendidikan politik, mensosialisasikan pentingnya pilkada dan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses demokratisasi politik yang demokratis? Bagaimana keterlibatan balon-balon kepala daerah dalam proses demokratisasi secara etis dalam suasana duka kolektif? Dan bagaimana juga akan kesiapan KPU serta badan lainnya dalam menyiapkan dan menyajikan proses baralek pilkada yang demokratis.
Atas dasar inilah SCEDEI menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Pilkada dan Bencana” di sekretariat SCEDEI tanggal 4 Desember 2009 yang lalu. Menghadirkan pemancing diskusi diantaranya: Virtous Setyaka, S.IP. M.Si (Dosen FISIP Univ. Andalas), Firdaus, S.Sos (PBHI Sumbar), dan Muhammad Thaufan A, S.Sos (SCEDEI). Mendiskusikan secara mendalam tentang pendidikan politik, mensosialisasikan pentingnya pilkada dan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses demokratisasi politik. Untuk mendiskusikan keterlibatan balon-balon kepala daerah dalam proses demokratisasi secara etis dalam suasana duka kolektif dan kesiapan KPU serta badan lainnya dalam menyiapkan dan menyajikan proses pilkada yang demokratis. Selain itu, berbagi pengalaman antar aktivis LSM tentang pilkada dan bencana di Sumbar, serta membangun kesepahaman kolektif tentang pilkada dan bencana di Sumatera Barat.
Diskusi yang dihadiri utusan NGO, OKP, BEM, dan Ormas ini, menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Menjadikan pilkada dan bencana sebagai momen untuk kebangkitan Sumbar dari berbagai aspek
2. Menyadari pentingnya pilkada sebagai salah satu prinsip demokrasi dan proses pergantian kepala daerah menuju pemerintahan yang demokratis
3. Mensosialisasikan pentingnya pilkada untuk menekan angka golput yang disebabkan oleh tidak terdaftar sebagai pemilih atau tidak mau menggunakan hak pilih.
4. Mengupayakan pendidikan dan pencerahan politik kepada masyarakat sipil
5. Mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat sipil terhadap pemerintah yang disebabkan oleh isu-isu dan wacana-wacana politik dan hukum yang sedang berkembang dari masyarakat pasif, statis, apatis atau aktif-destruktif menjadi masyarakat aktif, kritis, rasional dan objektif.
6. Mengupayakan keterlibatan masyarakat sipil, LSM/NGOs, organisasi masyarakat, organisasi agama, dan elemen-elemen masyarakat lainnya dalam mewujudkan pilkada yang bersih dan demokratis.
7. Mengupayakan sosialisasi praktek politik etis dan pengawasan terhadap praktek politik busuk oleh bandit-bandit politik.
8. Menuntut kesiapan KPU dan lembaga terkait lainnya untuk menyiapkan dan menjamin tahapan-tahapan proses pilkada berjalan secara transparan, akuntabel, dan demokratis.
9. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya benturan antara kelompok masyarakat yang berujung kepada konflik sosial-politik akibat ketidakpuasan atas hasil pilkada.
10. Sebagai tindak lanjut diskusi perlu dilakukan Audiensi dengan anggota DPD MPR-RI, DPRD, dan KPU serta Pembentukan Aliansi atau kelompok kerja.
Langganan:
Postingan (Atom)