Jumat, 27 November 2009

Bencana dan Politik

Sumatera Barat adalah setitik negeri sorga yang diturunkan ke bumi. Ia memiliki aneka kekayaan alam melimpah, keindahan alam mempesona, dan berada pada iklim yang menyejukkan. Namun di balik keistimewaan itu ada yang selalu meresahkan masyarakatnya yakni bencana. Sumbar tak henti-hentinya didera bencana seperti gempa bumi, galodo, gunung meletus, banjir, dan bencana lain dalam skala kecil yang datang silih berganti.


Menurut laporan Harian Singgalang di sepanjang Agustus 2009, gempa, banjir, longsor, dan galodo terjadi di Sumbar. Bencana ini menelan kerugian triliunan rupiah dan melumpuhkan perekonomian masyarakat. Hal ini akibat rusaknya infrastruktur umum, terganggunya mental masyarakat, bahkan menutup mata pencarĂ­an masyarakat yang diterjang bencana.


Sisi lain provinsi ini, media massa local mulai menghembuskan iklim panas Pilkada pasca Pileg dan Pilpres kemarin yang meninggalkan catatan-catatan khusus dalam benak masyarakat. Silih berganti tajuk berita media massa memunculkan persoalan bencana dan calon pemimpin negeri ini. Seakan-akan tidak berhubungan tapi sebenarnya berkaitan. Hal ini merefleksikan bagi kita bahwa masyarakat tidak harus hanya menanti dan mempersiapkan pilkada tetapi juga harus mempersiapkan bagaimana menghadapi bencana di Sumbar. Inilah relasi bencana dan politik.

Sumbar berada di daerah pegunungan yang berisiko galodo, longsor, dan gunung meletus. Kemudian daerah ini juga berada di lingkaran cincin api (ring of fire) dimana daerah yang berada di bibir pantai berpotensi menghadapi gempa dan tsunami, yang menurut prediksi pakar hanya menunggu waktu.


Ketika bencana ini muncul sudah pasti akan banyak menimbulkan kerugian besar secara mental juga material. Oleh karena itu, sebuah kata mutlak, pengurangan resiko bencana mesti diupayakan. Bencana memang terjadi tiba-tiba dan tak terduga, namun gelagatnya juga bisa dipelajari, pengurangan resikonya juga bisa diwujudkan.


Selama ini nyaris bencana dibahas ketika telah terjadi, pemerintah dan relawan seakan disibukkan menghitung rangkaian jumlah kerugian mulai dari fisik, wadah masyarakat sampai hitungan kehilangan jiwa. Sebagai daerah yang begitu rentan dengan bencana seharusnya kita mulai mempersiapkan langkah-langkah taktis dalam pengurangan resiko bencana. Mirisnya lagi ketika bencana terjadi, masyarakat yang terkenapun terlalu lama dalam suasana kebencanaan.


Dalam persoalan bencana ini memang Undang-undang sudah memberikan amanah, seperti Pasal 24 tahun 2008 tentang penanggulangan bencana, ditambah dengan pasal 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, hal ini tentu seluruh jajaran pemerintah dari yang paling atas sampai yang paling bawah meski tanggap terhadap bencana.


Pengurangan resiko bencana juga perlu usaha yang maksimal dan kerjasama dari berbagai pihak, dan ditambah lagi dengan sosialisasi yang bagus kepada masyarakat. Dalam upaya ini pasti akan berhadapan dengan bidang ilmu ekonomi, pendidikan, ilmu kependudukan, kearifan lokal bahkan kepada persoalan hukum. Memang bencana sulit dielakkan namun banyak juga terjadi karena ulah manusia itu sendiri. Bencana seperti banjir dan galodo banyak disebabkan oleh perusakan lingkungan. Hal ini tentu saja menuntut penyadaran terhadap masyarakat, yang dapat dilakukan melalui institusi pendidikan. Alangkah baiknya jika pendidikan kebencanaan masuk dalam kurikulum pendidikan di setiap sekolah.


Sementara itu Pantai Barat Sumatera merupakan daerah yang sangat rawan gempa dan tsunami. Hal ini dapat kita lihat dari struktur permukaan bawah laut, dimana terdapat palung yang dalam, khususnya di perairan pesisir Padang. Karena daerah tersebut merupakan pertemuan dua lempeng yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia.


Oleh karena itu pemerintah harus lebih focus untuk penanganan bencana dengan membuat sistem manajemen mitigasi yang baik. Dalam proses pembuatan sistem manajemen mitigasi yang baik diperlukan data pasial berupa peta dan data atribut berupa informasi. Peta merupakan salah satu cara terbaik untuk memvisualisasikan hasil penilaian kerawanan (vulnerabilitas). Peta dapat memadukan dimensi keruangan (spasial), karakteristik serta berbagai informasi lainnya seperti gambaran lingkungan maupuan data masyarakat yang relevan.


Kembali dalam menyambut aura Pilkada yang mulai memanas, karena pemilihan Gubernur dan 13 Bupati/Walikota yang serentak akan dilaksanakan pada tahun 2010 mendatang di Sumbar. Wacana pengurangan resiko bencana perlu didorong oleh masyarakat sipil terutama Lembaga Swadaya Masyarakat/ NGO, sehingga pemimpin yang terpilih ke depan juga menawarkan rencana-rencana strategis dalam pengurangan dampak resiko bencana diwilayahnya, mulai dari antisipasi bencana sampai kepada pemulihan yang cepat dan tepat sehingga tidak terlalu lama melumpuhkan ekonomi masyarakat.


Demokrasi kita ke depan seharusnya dibangun di atas kesadaran kritis bahwa risiko bencana memiliki eksistensi dan terus berinkubasi sepanjang waktu. Bila tidak ada sumber daya politik yang mendorong kebijakan pengurangan risiko secara kontekstual setempat dan inklusif, serta investasi negara untuk proteksi rakyatnya maka itu perlu dibaca sebagai kegagalan sistemik dan inersia politik di negeri yang rentan bencana. Atau juga elit politik ternyata tidak punya karakter dan sensivitas*.


* Resume Diskusi Reguler SCEDEI-KPMM-NGO se-Sumatera Barat dengan tema : Politik dan Bencana pada tanggal 12 September 2009, di Sekretariat SCEDEI dengan Pemateri : Zulkifli Jailani (anggota DPRDSumbar ) dan Khalid Syafullah (Direktur Walhi Sumbar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar