Sumatera Barat adalah setitik negeri sorga yang diturunkan ke bumi. Ia memiliki aneka kekayaan alam melimpah, keindahan alam mempesona, dan berada pada iklim yang menyejukkan. Namun di balik keistimewaan itu ada yang selalu meresahkan masyarakatnya yakni bencana. Sumbar tak henti-hentinya didera bencana seperti gempa bumi, galodo, gunung meletus, banjir, dan bencana lain dalam skala kecil yang datang silih berganti.
Menurut laporan Harian Singgalang di sepanjang Agustus 2009, gempa, banjir, longsor, dan galodo terjadi di Sumbar. Bencana ini menelan kerugian triliunan rupiah dan melumpuhkan perekonomian masyarakat. Hal ini akibat rusaknya infrastruktur umum, terganggunya mental masyarakat, bahkan menutup mata pencarĂan masyarakat yang diterjang bencana.
Sisi lain provinsi ini, media massa local mulai menghembuskan iklim panas Pilkada pasca Pileg dan Pilpres kemarin yang meninggalkan catatan-catatan khusus dalam benak masyarakat. Silih berganti tajuk berita media massa memunculkan persoalan bencana dan calon pemimpin negeri ini. Seakan-akan tidak berhubungan tapi sebenarnya berkaitan. Hal ini merefleksikan bagi kita bahwa masyarakat tidak harus hanya menanti dan mempersiapkan pilkada tetapi juga harus mempersiapkan bagaimana menghadapi bencana di Sumbar. Inilah relasi bencana dan politik.
Sumbar berada di daerah pegunungan yang berisiko galodo, longsor, dan gunung meletus. Kemudian daerah ini juga berada di lingkaran cincin api (ring of fire) dimana daerah yang berada di bibir pantai berpotensi menghadapi gempa dan tsunami, yang menurut prediksi pakar hanya menunggu waktu.
Ketika bencana ini muncul sudah pasti akan banyak menimbulkan kerugian besar secara mental juga material. Oleh karena itu, sebuah kata mutlak, pengurangan resiko bencana mesti diupayakan. Bencana memang terjadi tiba-tiba dan tak terduga, namun gelagatnya juga bisa dipelajari, pengurangan resikonya juga bisa diwujudkan.
Pengurangan resiko bencana juga perlu usaha yang maksimal dan kerjasama dari berbagai pihak, dan ditambah lagi dengan sosialisasi yang bagus kepada masyarakat. Dalam upaya ini pasti akan berhadapan dengan bidang ilmu ekonomi, pendidikan, ilmu kependudukan, kearifan lokal bahkan kepada persoalan hukum. Memang bencana sulit dielakkan namun banyak juga terjadi karena ulah manusia itu sendiri. Bencana seperti banjir dan galodo banyak disebabkan oleh perusakan lingkungan. Hal ini tentu saja menuntut penyadaran terhadap masyarakat, yang dapat dilakukan melalui institusi pendidikan. Alangkah baiknya jika pendidikan kebencanaan masuk dalam kurikulum pendidikan di setiap sekolah.
Oleh karena itu pemerintah harus lebih focus untuk penanganan bencana dengan membuat sistem manajemen mitigasi yang baik. Dalam proses pembuatan sistem manajemen mitigasi yang baik diperlukan data pasial berupa peta dan data atribut berupa informasi. Peta merupakan salah satu cara terbaik untuk memvisualisasikan hasil penilaian kerawanan (vulnerabilitas). Peta dapat memadukan dimensi keruangan (spasial), karakteristik serta berbagai informasi lainnya seperti gambaran lingkungan maupuan data masyarakat yang relevan.
* Resume Diskusi Reguler SCEDEI-KPMM-NGO se-Sumatera Barat dengan tema : Politik dan Bencana pada tanggal 12 September 2009, di Sekretariat SCEDEI dengan Pemateri : Zulkifli Jailani (anggota DPRDSumbar ) dan Khalid Syafullah (Direktur Walhi Sumbar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar